Kemudian, berdasarkan pemikiran ini, di antara mereka ada yang sampai kepada tingkat pemahaman menganggap halalnya mencuri atau merampas harta kaum muslimin dengan keyakinan bahwa harta mereka adalah ghanimah (harta rampasan perang milik orang kafir). Atau enggan shalat di belakangnya di masjid-masjid kaum muslimin karena menganggap bermakmum di belakang orang kafir hukumnya tidak sah. Bahkan sampai pada tingkatan upaya melakukan gerakan bawah tanah yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan alasan bahwa pemerintahan mereka telah kafir dan tidak berhukum dengan hukum Allah SWT, sehingga telah gugur kewajiban taat dan kewajiban berbai’at kepadanya. Sedangkan bai’at hanyalah diserahkan kepada pemimpin kelompoknya saja. Dari sinilah cikal-bakal munculnya kaum teroris Khawarij yang memorakporandakan keamanan negeri-negeri muslimin.
Di sisi lain, sebagian bai’at diterapkan oleh kelompok-kelompok bid’ah hizbiyyah berorientasi bukan pada pemberontakan terhadap penguasa yang sah dan melakukan tindak kekerasan. Namun lebih fokus kepada sikap kultus individu kepada pemimpin kelompok dan menaati seluruh ucapannya, serta menganggap bahwa seluruh ucapannya adalah benar dan tidak pernah salah. Ini seperti keyakinan kelompok-kelompok Shufiyah (Sufi) terhadap pemimpin dan orang yang dianggapnya sebagai wali Allah SWT.
Namun secara umum, bai’at-bai’at bid’ah hizbiyyah tersebut telah menanamkan pemahaman akan wajibnya taat kepada pemimpin yang dibai’at dan diharamkan menyelisihi perintah serta aturannya, karena hal itu akan menyebabkan mereka mati dengan cara mati jahiliah. Demikian menurut sangkaan mereka.
Abu Qilabah rahimahulloh berkata:
مَا ابْتَدَعَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا اسْتَحَلُّوا السَّيْفَ
“Tidaklah satu kaum melakukan satu bid’ah melainkan mereka akan menghalalkan pedang (yakni menghalalkan darah kaum muslimin, pen.).” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalaka’i, no. 247)
Berikut ini, kami sebutkan beberapa kelompok sempalan yang menerapkan metode bai’at kepada para pengikutnya untuk taat kepada pemimpinnya.
Di dalam jamaah Al-Ikhwanul Muslimun, bai’at sudah ditetapkan oleh pemimpinnya semenjak berdirinya, yakni Hasan Al-Banna. Dalam salah satu tulisannya, Hasan Al-Banna menjelaskan tentang bai’at dalam jamaahnya, “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kami ada sepuluh maka hafalkanlah: Pemahaman, ikhlas, beramal, berjihad, berkorban, ketaatan, teguh, jernihkan pemikiran, persaudaraan, dan kepercayaan.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, jilid 1/1-2)
Tatkala menjelaskan masalah ketaatan, dia berkata: “Yang saya maksudkan dengan ‘ketaatan’ adalah melaksanakan perintah dan menjalankannya sendirian, baik di saat sulit atau mudah, di saat semangat ataupun terpaksa.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, jilid 1/7)
Dia menyebutkan tiga tahapan: ta’rif, takwin, dan tanfidz. Lalu dia menjelaskan tahapan kedua takwin dengan mengatakan, “Aturan dakwah pada tahapan ini adalah Sufi yang murni dalam hal rohaninya dan ketentaraan murni dari sisi amalannya. Dan syiar kedua perkara ini adalah ‘perintah dan taat’ tanpa disertai keraguan, waswas, dan rasa berat.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, 1/7)
Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi mengomentari bai’at Al-Ikhwanul Muslimun ini:
“Kritikan saya terhadap bai’at ini dari beberapa sisi:
“Kami membai’at Rasulullah SAW untuk senantiasa mendengar dan taat, sebatas kemampuan kalian.”
Ini bagian dari sepuluh rukun yang disebutkan. Manakah dalil atas rukun-rukun lainnya?
Keempat: Dia menjadikan bentuk ketaatan pada tahapan kedua dari tiga tahapan dakwah yang dia ada-adakan sebagai ketaatan militer yang harus dijalankan, baik perintah itu salah atau benar, batil atau haq. Padahal Nabi SAW membai’at para sahabatnya untuk mendengar dan taat dan berkata “Sesuai kemampuan kalian.”
(Dinukil dengan ringkas dari kitab Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal, karya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi t, hal. 214-217)
Dalam Islam Jamaah, yang bernaung dibawah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), perintah amir mendapat tempat istimewa dan sangat menentukan serta merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits yang manqul. Hal itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari para pengikutnya. Kepatuhan mereka kepada amir adalah sami’na wa atha’na mas tatha’na (kami mendengar dan taat semampu kami). Untuk mempertebal keyakinan pengikutnya, mereka mengarahkan ayat dan hadits yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada ulil amri, kepada wajib taat kepada amir jamaahnya. Segala keputusan ada di tangan amir. Mulai dari boleh tidaknya seseorang berdakwah sampai kepada soal nikah. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh atau tidak menikah dengan gadis atau pemuda pilihannya, ataupun bercerai dari istri atau suaminya. Demikian pula dalam soal harta. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh menjual hartanya, misalnya sawah, rumah, kendaraan, dan lain sebagainya. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 145)
Demikian pula dalam hal penafsiran, semua anggota Islam Jamaah dilarang menerima segala penafsiran yang tidak bersumber dari imam. Sebab penafsiran yang tidak berasal dari imam semuanya salah, sesat, berbahaya, dan tidak manqul. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 22)
Dalam makalah “Selayang pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)” terbitan jamaah tersebut, pada hal. 7, dia menyebutkan sistem yang diterapkan dalam jamaah ini:
“Sistem organisasi perjuangan adalah dalam bentuk jamaah dan imamah.”
Juga disebutkan:
“Amir wajib ditaati selama perintah dan kebijaksanaannya tidak maksiat berdasarkan dalil yang qath’i.”
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59) [Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid hal. 9]
Perhatikanlah, ayat yang semestinya diterapkan untuk penguasa negeri justru diarahkan kepada jamaah dan kelompoknya, bak mendirikan negara di dalam sebuah negara.
Jamaah ini mengikat para pengikutnya dengan ikatan janji, yang disebut mu’ahadah, mu’aqadah, atau yang lebih masyhur dengan penyebutan bai’at.
Dalam Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid disebutkan:
“Mu’ahadah artinya perjanjian atas ketaatan dalam hal yang ma’ruf. Berarti, pemberian janji (sumpah setia) dari seseorang kepada amir untuk sam’u dan tha’ah dalam hal selain maksiat. Baik dalam keadaan senang atau terpaksa, dalam kesempitan atau kelapangan, serta tidak mencabut bai’at dari ahlinya dan menyerahkan urusan kepadanya.” (Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid, hal. 23)
Dengan doktrin sam’u (mendengar) dan tha’ah (taat) kepada para pengikutnya, mereka pun rela berjuang dengan harta dan jiwa mereka sekalipun, jika mendapat perintah dari amir jamaahnya, Abu Bakr Ba’asyir, meskipun bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebab, yang wajib ditaati menurut mereka adalah amir jamaahnya, bukan amir Indonesia yang dianggap telah melakukan pelanggaran syariat.
Bahkan ketika masih menjabat sebagai amir MMI, dengan tegas mengeluarkan pernyataan sikap atas nama ahlul halli wal ‘aqdi Majelis Mujahidin, dengan judul Fatwa syar’i terhadap pemerintahan SBY-JK, yang mengharamkan tindakan pemerintah ketika menaikkan harga BBM. Pada bagian akhir menyebutkan keputusan yang berbunyi: “Apabila SBY-JK tidak mengembalikan amanah kepada rakyat secara konstitusional, maka rakyat tidak mempunyai kewajiban lagi untuk menaatinya.” (Risalah Mujahidin, edisi 5 Muharram 1428 H/Feb 2007, hal. 89)
Lebih tegas lagi menyatakan bahwa pemerintah sekarang ini telah murtad dan keluar dari Islam, dalam tulisan yang berjudul “SURAT ULAMA kepada Presiden Republik Indonesia”, di mana Abu Bakr Ba’asyir menjadi urutan pertama yang menandatangani isi surat tersebut. Disebutkan pada hal. 25-26:
“Setiap muslim yang bertauhid akan sampai pada kesimpulan yang ditarik oleh para ulama yang tsiqah (terpercaya) baik salaf maupun kontemporer, yaitu jatuhnya vonis murtad bagi para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini. Para penguasa muslim yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin hari ini telah melakukan banyak hal yang membatalkan keislaman mereka, sehingga kemurtadan mereka berasal dari banyak hal. Artinya, kemurtadan mereka adalah kemurtadan yang sangat parah sehingga hujjah tentang murtadnya mereka tidak terbantahkan lagi.”
Dari sini semakin nampak, bahwa bai’at JAT kepada pemimpinnya adalah bai’at pemberontakan dan khuruj (keluar) dari ketaatan kepada penguasa negeri, karena mereka telah dianggap kafir dan murtad.
Masih banyak lagi kelompok dan organisasi yang mengikat para pengikutnya dengan sistem jamaah dan imamah, yang semestinya diarahkan kepada penguasa negeri. Al-’Allamah Al-Albani rahimahulloh berkata:
أَمَّا مُبَايَعَةُ حِزْبٍ مِنَ الْأَحْزَابِ لِفَرْدٍ لِرَئِيسٍ لَهُ، أَوْ جَمَاعَةٍ مِنَ الْجَمَاعَاتِ لِرَئِيْسِهِمْ وَهَكَذَا، فَهَذَا فِي الْوَاقِعِ مِنَ الْبِدَعِ الْعَصْرِيِّةِ الَّتِي فَشَتْ فِي الزَّمَنِ الْحَاضِرِ، وَذَلِكَ بِلَا شَكٍّ مِمَّا يُثِيرُ فِتَنًا كَثِيرَةً جِدًّا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ
“Adapun bai’at yang dilakukan satu kelompok bagi seseorang terhadap pemimpinnya, atau satu jamaah kepada pemimpinnya, dan yang semisalnya, pada hakikatnya termasuk bid’ah yang baru muncul pada masa kini. Tidak diragukan lagi bahwa ini dapat menimbulkan berbagai fitnah yang sangat banyak di kalangan kaum muslimin.” (Silsilah Al-Huda wan Nur, kaset no. 288)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh berkata pula:
الْبَيْعَةُ الَّتِي تَكُونُ فِي بَعْضِ الْجَمَاعَاتِ بِيْعَةٌ شَاذَّةٌ مُنْكَرَةٌ، يَعْنِي أَنَّهَا تَتَضَمَّنُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَجْعَلُ لِنَفْسِهِ إِمَامَيْنِ وَسُلْطَانَيْنِ، الْإِمَامُ الْأَعْظَمِ الَّذِي هُوَ إِمَامٌ عَلَى جَمِيعِ الْبِلَادِ، وَالْإِمَامُ الَّذِي يُبَايِعُهُ وَتُفْضِي أَيْضًا إِلَى شَرٍّ لِلْخُرُوجِ عَلَى الْأَئِمَّةِ الَّذِي يَحْصُلُ بِهِ سَفْكُ الدِّمَاءِ وَإِتْلَافُ الْأَمْوَالِ مَا لَا يَعْلَمُهُ بِهِ إِلَّا اللهُ
“Bai’at yang terdapat pada jamaah-jamaah merupakan bai’at yang ganjil dan mungkar. Di dalamnya terkandung makna bahwa seseorang menjadikan untuk dirinya dua imam dan dua penguasa, (pertama) imam tertinggi yang merupakan imam yang menguasai seluruh negeri, dan (kedua) imam yang dibai’atnya. Juga akan menjurus kepada kejahatan, dengan keluar dari ketaatan kepada para penguasa, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah dan musnahnya harta benda, yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT.” (Silsilah Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 6, side B)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim menyadari bahaya munculnya kelompok-kelompok yang mengikat para pengikutnya dengan bai’at. Munculnya kelompok yang seperti ini akan semakin menambah perpecahan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW serta para sahabatnya r. Wallahu a’lam.