PENJELASAN TENTANG IKHWANUL MUSLIMUN/IM : Al-Wala’ wal Bara’
Ikhwanul Muslimin
(1057 Views) November 16, 2011 12:24
am | Published by Redaksi
(ditulis
oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.)
Berikan komentar dan Pesan Anda
ke fauzan-indonesia (https://www.facebook.com/messages/341209542627535) dan LIKE (KUNJUNGI) fan page facebook = fauzan-indonesia.blogspot.com
Islam
datang untuk meluruskan penyimpangan aqidah umat manusia di muka bumi. Allah U
pun melengkapinya dengan mengutus Rasulullah n agar dijadikan teladan bagi
mereka yang menjadikan Islam sebagai agamanya. Sehingga dakwah pun menjadi keniscayaan.
Maka amatlah naif jika ada gerakan yang mengaku Islam namun justru membiarkan
penyimpangan tumbuh di dalam umat ini. Dakwah justru dikebiri atas nama
toleransi, persamaan agama Samawi, dsb.
Ikhwanul
Muslimin (untuk selanjutnya disingkat IM) bisa diibaratkan seperti lokomotif
bagi gerbong-gerbong kelompok harakah (pergerakan) Islam dewasa ini. Pasalnya,
IM tergolong kelompok paling tua dalam dunia harakah, bahkan telah banyak
melahirkan kelompok-kelompok pergerakan yang muncul setelahnya. Demikian pula para tokohnya.
Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Hasan
Al-Hudhaibi, Abdul Qadir Audah, Muhammad Ash-Shawwaf, Musthafa As-Siba’i, Umar
At-Tilmasani, Muhammad Hamid Abu Nashr, Yusuf Qardhawi, Muhammad Al-Ghazali,
Fathi Yakan, Hasan At-Turabi, Abul A’la Al-Maududi, Al-Ghanusyi, Sa’id Hawa
dan yang lainnya adalah “orang-orang lama” yang dijadikan narasumber dan
“tempat kembali” bagi para aktivis pergerakan. Sontak, kondisi semacam ini
cukup meng-khawatirkan… Terkhusus ketika fakta membuktikan bahwa penyimpangan
telah terjadi dari dalam IM. Sebagaimana pernyataan Ali Asymawi (mantan tokoh
IM yang pernah mendekam di balik terali besi selama 23 tahun dalam
perjalanannya bersama mereka), “Menurutku IM (ketika itu) merupakan induk
seluruh kelompok (tanzhim) Islam di dunia Arab, karena IM-lah yang paling tua
dan yang melahirkan berbagai kelompok setelahnya. Segala bentuk penyimpangannya
pun bersumber dari dalam IM sendiri.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil
Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim
Ibnu Sulthan Al-’Adnani, hal. 76). Para pembaca, bahasan kali ini
tidak-lah menyingkap seluruh penyimpangan IM. Akan tetapi khusus penyimpangan
mereka dalam hal Al-Wala` dan al-Bara` yang merupakan tali keimanan yang paling
kokoh. Rasulullah SAW bersabda:
“Tali
keimanan yang terkokoh adalah berloyal karena Allah dan memusuhi karena Allah,
cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul
Kabir no. 11.537 dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas r.
Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1.728)
Apa itu Al-Wala` dan Al-Bara`? Al-Wala` adalah loyalitas dan kecintaan
kepada Allah I dan Rasul-Nya serta kaum mukminin. Sedangkan al-Bara` adalah
benci dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah SWT
dan Rasul-Nya serta musuh-musuh kaum mukminin.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya, setelah
mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, maka wajib mencintai wali-wali Allah SWT
dan memusuhi musuh-musuh-Nya. Dan di antara prinsip (aqidah) Islam yang
terpenting adalah bahwa setiap muslim yang beraqidah Islam wajib loyal dan
mencintai orang-orang yang berpegang teguh dengannya (aqidah Islam) dan
memusuhi para penentangnya. Sehingga diapun loyal dan mencintai orang-orang
yang bertauhid lagi mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah SWT
semata, dan membenci/ memusuhi orang-orang yang menyekutukan Allah SWT.
Prinsip ini telah ada dalam ajaran Nabi Ibrahim u dan orang-orang yang bersama
beliau yang kita diperintah untuk meneladani mereka. Allah SWT
berfirman:
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesung-guhnya kami
berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu ibadahi selain Allah, kami
ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan
kamu selama-lamanya, sampai kamu mau beriman kepada Allah semata’.”
(Al-Mumtahanah: 4) [Al-Wala` wal-Bara` Fil Islam, hal. 3]. Prinsip
inipun terus berkesinam-bungan hingga masa Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT berfirman tentang prinsip Al-Wala`:
“Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dan barangsiapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang.” (Al-Ma`idah: 55-56)
“Muhammad
itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya sangatlah keras
terhadap orang-orang kafir, namun berkasih sayang terhadap sesama mereka.”
(Al-Fath: 29)
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)
Adapun firman Allah SWT tentang prinsip al-Bara`:
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin (mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai
pemimpin, maka sesung-guhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Ma`idah:
51)
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu
sebagai teman-teman setia.” (Al-Mumtahanah: 1)
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran di atas keimanan. Dan barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka
sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (At-Taubah:
23)
“Kamu
tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun
keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)
Slogan Peruntuh Al-Wala` Wal-Bara`
Mungkin
anda sering mendengar slogan persatuan yang diproklamirkan Hasan Al-Banna, sang pendiri IM. Slogan yang berbunyi, “(Mari) kita saling tolong-menolong
dalam perkara-perkara yang disepakati dan saling toleran dalam perkara-perkara
yang diperselisihkan.”
Misi
apakah yang terselubung di balik slogan tersebut?
Ali Asymawi berkata: “IM getol sekali mendengungkan slogan mereka yang amat
terkenal di kalangan kelompok-kelompok dan ormas-ormas Islam ‘(Mari) kita
saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati dan saling toleran
dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’. Sebuah slogan yang diluncurkan
dalam upaya memegang tali kendali (umat) dan menggiring segala laju
permasalahan untuk kepentingan mereka.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil
Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)
Bagaimanakah aplikasi dari slogan tersebut di kalangan IM?
Ali Asymawi berkata: “(Dalam
mengaplikasikannya, –pen.) tidak ada upaya pembenahan atau pembersihan hal-hal
negatif ataupun meluruskan penyimpangan yang telah menggurita di tengah-tengah
kelompok pergerakan Islam. Hingga akhirnya (penyimpangan itu pun, -pen.)
bercokol dengan kokohnya di seluruh penjuru dunia. Faktor penyebabnya adalah
terjatuhnya mayoritas mereka ke dalam sikap ekstrim (berlebihan) –ketika
menerapkan slogan tersebut–.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil
Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)
Fakta dan data di lapangan menunjukkan benarnya keterangan Ali Asymawi (akan
dijelaskan secara rinci nantinya). Terlebih hari-hari ini, ketika slogan itu
lebih dikongkritkan dalam bahasa-bahasa yang keren, lugas dan terkesan adem:
“Islam Warna-warni”, “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”, dll, yang
digandrungi oleh banyak kelompok, ormas, dan parpol. Selidik punya selidik,
ternyata dalam realisasinya meruntuhkan prinsip al-wala` wal-bara`. Apa misi di
balik itu?
Jawabnya adalah idem, seperti keterangan Ali Asymawi tentang IM. Atau, mungkin
ada jawaban lain…? Wallahul Musta’an.
Akibatnya, semakin bercokollah penyimpangan/ kebatilan pada individu ataupun
kelompok, karena tidak ada upaya pembenahan, pembersihan hal-hal negatif
ataupun meluruskan penyimpangan yang telah menggurita (sebagaimana pernyataan
Ali Asymawi). Bahkan ketika ada yang berupaya meluruskan penyimpangan tersebut,
justru malah mendapatkan serbuan komentar: “Kayak yang bener sendiri”, “Ndak
usah ngurusi orang lain”, “Masing-masing kan punya dasar”, “Ribut terus, orang
kafir sudah sampai ke bulan kita masih ngurusi khilafiyyah”, dan lain
sebagainya. Padahal sering kali upaya pembenahan dan pelurusan itu berkaitan
dengan masalah aqidah.
Saudara, contoh di atas erat kaitannya dengan internal kita kaum muslimin. Dan
lebih mengherankan, ketika kaitannya dengan orang-orang Yahudi, Nashrani dan
orang-orang kafir lainnya yang Allah SWT wajibkan kita untuk bara` (berlepas
diri/membenci) mereka sebagaimana dalam ayat-ayat yang disebutkan di awal
bahasan. Berondongan komentar pun acap kali didengar, “Mereka itu saudara
kita”, “Semua agama sama”, dan lain sebagainya. Mungkin anda merasa janggal, khususnya
kaitannya dengan IM. Bukankah pada tahun 1948, IM terlibat kontak senjata
melawan orang-orang Yahudi Israel di Palestina?! Jawabnya adalah: Benar. Namun apa motivasinya?
Hasan Al-Banna berkata (tentang kasus Palestina): “Untuk itu kami tetapkan bahwa
permusuhan kami dengan Yahudi bukanlah permusuhan agama. Karena Al-Qur`an telah
menganjurkan untuk bergabung dan berkawan dekat dengan mereka. Dan Islam
merupakan syariat kemanusiaan sebelum menjadi syariat kaum tertentu. Islam pun
telah memuji mereka dan menjadikan antara kita dengan mereka
keter-kaitan yang kuat.” (Al-Ikhwanul Mus-limun Ahdatsun Shana’at Tarikh,
I/409-410. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 59)
Kalau bukan karena agama, lalu apa?
Yusuf Qardhawi berkata: “Kami memerangi orang-orang Yahudi bukan karena urusan
aqidah, akan tetapi karena urusan tanah. Kami memerangi mereka bukan karena
statusnya sebagai orang-orang kafir, akan tetapi karena mereka merampas (tanah
Palestina).” (Surat Kabar Ar-Rayah, Qatar edisi 4696, 25 Januari 1995. Lihat
Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha (lampiran) hal. 207)
Fatwa Ulama tentang Slogan IM Itu.
Manakala
para tokoh IM telah berlebihan dalam merealisasikan slogan mereka itu, maka
jerit peringatan dari dalam tubuh IM pun terdengar, sebelum adanya fatwa para ulama.
Lagi-lagi Ali Asymawi mengatakan: “Untuk itu, aku melihat bahwa sekaranglah
saatnya memberi peringatan dan membuka jendela-jendela, agar sinar mentari dan
udara segar bisa masuk ke lorong-lorong jamaah (IM) yang telah pengap dan
membusuk aromanya. Dan juga, agar pengalaman hidupku bersama mereka dapat
menjadi pelajaran berharga bagi para pemuda untuk tidak gegabah dalam mencari
jalan hidupnya, mempertim-bangkan secara matang ke mana kakinya hendak
dilangkahkan, dan tidak mudah hanyut dalam memberikan loyalitas dan ketaatannya
pada siapapun… Karena Allah SWT telah mengaruniakan kita akal
fikiran sebagai kehormatan bagi anak manusia. Tidaklah sepantasnya kita
menyia-nyiakannya, agar tidak mudah dijadikan bulan-bulanan oleh siapapun dan
bergerak di bawah slogan apapun.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil
Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)
Adapun fatwa para ulama, antara lain:
1.
Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahulloh.
Beliau berkata: “Ya, wajib untuk
saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati berupa kebenaran,
dakwah kepada kebenaran tersebut dan memper-ingatkan (umat manusia) dari apa
yang dilarang Allah SWT dan Rasul-Nya. Adapun saling
toleran dalam perkara yang diperselisihkan, maka tidak bisa dibenarkan secara
mutlak, bahkan harus dirinci. (Yaitu) di saat perkara tersebut termasuk masalah
ijtihad yang tidak ada dalilnya secara jelas, maka tidak boleh di antara kita
saling mengingkari. Sedangkan bila perkara tersebut jelas-jelas menyelisihi
nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wajib diingkari dengan hikmah, nasehat
dan diskusi dengan cara terbaik.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 3/58-59. Lihat Zajrul
Mutahawin Bidharari Qa’idah Al-Ma’dzirah wat Ta’awun, karya Hamd bin Ibrahim
Al-Utsman, hal. 128)
2.
Fatwa Asy-Syaikh Al-Albani rahimahulloh.
Beliau berkata ketika mengkritik
para pengusung slogan di atas: “Merekalah orang yang pertama kali
menyelisihinya. Kami yakin bahwa penggalan (pertama, -pen.) dari slogan
tersebut benar, yaitu ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara
yang disepakati’. Ini tentunya dipetik dari firman Allah SWT:
“Saling
tolong-menolonglah dalam perkara kebaikan dan ketaqwaan.” (Al-Ma`idah: 2)
Adapun penggalan kedua ‘Dan saling toleran dalam perkara-perkara yang
diperselisihkan’, maka harus dipertegas… Kapan? (Yaitu) ketika kita saling
menasehati. Dan kita katakan kepada yang berbuat kesalahan: ‘Engkau salah,
dalilnya adalah demikian dan demikian.’ Bila dia belum puas dan kita lihat dia
seorang yang ikhlas (pencari kebenaran, -pen.) maka kita tolerir dia, dan
saling tolong-menolong dengannya dalam perkara-perkara yang disepakati. Adapun
bila dia seorang penentang kebenaran lagi sombong dan berpaling darinya, maka
saat itulah tidak berlaku penggalan kedua dari slogan tersebut dan tidak ada
toleransi di antara kita dalam perkara yang diper-selisihkan itu.” (Majalah
Al-Furqan, Kuwait, edisi 77, hal. 22. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 130)
3. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin rahimahulloh.
Beliau berkata: “Slogan mereka
‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati’, ini
benar. Adapun ‘Dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’,
maka ini harus dirinci:
a. Bila termasuk perkara ijtihad yang memang dibolehkan
berbeda, maka hendaknya kita saling toleran, dan tidak boleh ada sesuatu di hati
karena perbedaan tersebut.
b. Adapun bila termasuk perkara yang tertutup pintu ijtihad,
maka kita tidak boleh toleran kepada orang yang menyelisihinya. Dan diapun
harus tunduk kepada kebenaran. Jadi bagian pertama benar, sedangkan bagian
akhir harus dirinci.” (Ash-Shahwah Al-Islamiyyah, Dhawabith Wa Taujihat,
I/218-219. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 129)
Fenomena Al-Wala` Wal Bara` Ala IM
Demikianlah
koreksi para ulama atas slogan IM di atas. Lalu bagaimanakah fenomena IM di
dalam merealisasikannya? Simaklah keterangan berikut ini!
1. Garis besar Al-Wala` wal-Bara` ala IM.
a.
Hasan Al-Banna dalam momentum
peringatan HUT IM yang ke-20 (5-9-1948) berkata: “Gerakan IM tidaklah memusuhi
aqidah, agama, atau kelompok apapun.” (Qafilah Al-Ikhwan, karya As-Sisi, I/211.
Lihat Ath-Thariq Ilal Jama’atil Um, hal. 132)
b.
Muhammad Al-Ghazali berkata: “Selaras dengan sejarah
lama, maka kamipun berkeinginan untuk memben-tangkan tangan-tangan kami dan
membuka telinga dan hati kami untuk setiap seruan yang mempersatukan
agama-agama, dan mendekatkan antar pemeluknya serta menghilangkan sebab-sebab
perpecahan dari hati-hati mereka.” (Wamin
Huna Na’lam, hal. 150. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 60)
2. Sikap IM terhadap
Yahudi dan Nasrani
a.
Hasan Al-Banna berkata (tentang
kasus Palestina): “Untuk itu kami mene-tapkan bahwa permusuhan kami dengan
Yahudi bukanlah permusuhan agama. Karena Al-Qur`an telah menganjurkan untuk
bergabung dan berkawan dekat dengan mereka. Dan Islam merupakan syariat
kemanusiaan sebelum menjadi syariat kaum tertentu. Islam pun telah memuji
mereka dan men-jadikan antara kita dengan me-reka keterkaitan yang kuat.”
(Al-Ikhwanul Muslimun Ahdatsun Shana’at Tarikh, I/409-410. Lihat Al-Quthbiyyah
Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 59)
b.
Yusuf Qardhawi berkata: “Kami
memerangi orang-orang Yahudi bukan karena urusan aqidah, akan tetapi karena
urusan tanah. Kami memerangi mereka bukan karena statusnya sebagai orang-orang
kafir, akan tetapi karena mereka merampas (tanah Palestina).” (Surat Kabar
Ar-Rayah, Qatar edisi 4696, 25 Januari 1995. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha
(lampiran) hal. 207)
c.
Musthafa As-Siba’i berkata: “Islam
bukanlah agama yang memerangi agama Nashrani, bahkan mengakui dan memuliakan
agama Nashrani… Islam tidak membedakan antara muslim dan Nashrani. Islam tidak
memberikan hak lebih terhadap muslim atas hak Nashrani dalam kedudukan di
pemerintahan…” (Ath-Thariq Ilal Jama’atil Um, hal. 134)
d.
Hasan At-Turabi dalam ceramahnya yang berjudul Ta’dilul
Qawanin, berkata: “Boleh bagi seorang muslim untuk menjadi Yahudi atau
Nashrani, seperti halnya mereka (Yahudi dan Nashrani) dibolehkan untuk menjadi
muslim.”
Di kesempatan ceramahnya yang lain
dengan tema Ad-Daulah Baina Nazha-riyyah Wa Tathbiq, berkata: “Tidak boleh bagi
seorang muslim untuk mengkafirkan Yahudi dan Nashrani.” (Isyruna Ma’kha-dzan
‘Ala As-Sururiyyah, hal. 2. Lihat Majalah Asy Syari’ah edisi Fenomena
Sinkretisme Agama, hal. 21)
3. Sikap
IM terhadap Syi’ah Rafidhah.
Syi’ah Rafidhah adalah rintisan
Abdullah bin Saba‘ seorang Yahudi dari Yaman. Di antara keyakinan kelompok ini
adalah: Al-Qur`an (kaum muslimin) yang ada telah mengalami perubahan dan
pengurangan sehingga tak tersisa lagi kecuali hanya 1/3 dari aslinya; para
shahabat telah murtad (sepeninggal Nabi n) kecuali beberapa orang saja; para
istri Nabi n adalah pelacur; imam-imam mereka ma’shum dan kedudukannya di atas
malaikat dan nabi; dan lain sebagainya (untuk lebih rincinya, lihat Rubrik Manhaji
Majalah Asy Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa dan Syi’ah Menikam
Keluarga Nabi). Bagaimanakah sikap IM terhadap mereka? Simaklah
keterangan tokoh-tokoh mereka:
a. Umar At-Tilmasani berkata: “Pada th
1940-an –sesuai apa yang kuingat– Sayyid Al-Qummi (tokoh Syi’ah) mengunjungi IM
di markas besarnya, saat-saat Al-Imam Asy-Syahid (Hasan Al-Banna, -pen.)
berjuang keras untuk mempersatukan seluruh madzhab… Kami pun bertanya kepadanya
(Hasan Al-Banna, -pen.) tentang perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Maka
dia melarang kami untuk masuk ke dalam masalah-masalah
riskan semacam ini.” (Mauqif Ulama’ Al-Muslimin, karya Dr. Izzuddin Ibrahim
hal. 5-21. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 56).
b. Salim Bahnasawi berkata: “Sejak
terbentuknya lembaga pendekatan antara madzhab-madzhab Islam yang diprakarsai
Al-Imam Al-Banna dan Al-Imam Al-Qummi, kerjasama antara IM dengan Syi’ah pun
terus berlangsung, yang akhirnya membuahkan kunjungan Al-Imam Nuwab Shafawi
(tokoh Syi’ah) ke Kairo pada tahun 1954 M.”
Dia juga berkata: “Dan itu bukan hal
aneh, karena manhaj (prinsip) kedua kelompok sama-sama mendukung kerja sama
tersebut.” (Mauqif Ulama’ Al-Muslimin, hal. 13. Lihat Tahafutusy Syi’arat Wa
Suquthul Aqni’ah, karya Abdul ‘Aziz bin Syabib Ash-Shaqr, hal. 32)
Abdul Aziz bin Syabib Ash-Shaqr berkata: “Ketika Hasan Al-Banna wafat, warisan
(pemikiran) yang busuk ini diambil oleh seluruh petinggi IM dan diterapkan di
negerinya masing-masing. Sebagaimana yang dilakukan Umar At-Tilmisani –Mursyid
Aam (pimpinan umum IM)– di Mesir, Musthafa As-Siba’i di Syria, Hasan At-Turabi
di Sudan, Al-Ghanusyi di Tunis, Fathi Yakan di Lebanon dan Al-Maududi di
Pakistan.” (Tahafutusy Syi’arat, hal. 33)
Bagaimanakah sikap IM terhadap kelompok-kelompok
Islam sempalan lainnya?
Pembaca, jika sikap mereka terhadap Syi’ah demikian mesranya, bahkan
juga sikap mereka terhadap Yahudi dan Nashrani yang jelas-jelas musuh Allah SWT
dan Rasul-Nya, maka bisa dipastikan jawabnya adalah: idem. Artinya, toleransi
tinggi akan dipersembahkan IM untuk mereka. Demikianlah “GBHN” al-wala`
wal-bara` ala mereka. Masih ingatkah perkataan Hasan Al-Banna dan Muhammad
Al-Ghazali yang telah lalu?!
Penutup
Setelah menelusuri sebagian kecil (saja) perkataan tokoh-tokoh IM seputar sikap
terhadap agama-agama kafir dan para pemeluknya (Yahudi, Nashrani dan yang
lainnya), atau pun sikap terhadap kelompok-kelompok bid’ah dan sesat, maka
sungguh mencolok sekali rapuhnya Al-Wala` wal-Bara` ala mereka. Padahal Al-Wala` wal-Bara` merupakan tali keimanan terkokoh.
Tidak-kah ini cukup sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal?!
Sebagai penutup simaklah nasehat Syaikh kami Al-’Allamah
Abdul Muhsin Al-Abbad –hafizhahullah– di bawah ini:
“Sudah sepatutnya –bahkan seharusnya– bagi pengikut da’i tersebut (Hasan
Al-Banna, -pen.) untuk tidak merealisasikan perkataannya (slogan di atas,
-pen.) yang berujung pada toleransi terhadap kelompok-kelompok sesat, bahkan
yang paling sesatnya semacam Syi’ah Rafidhah. (Dan) hendaknya memperhatikan
penerapan kaidah ‘Cinta karena Allah SWT dan benci karena Allah SWT, berloyal
karena Allah SWT dan memusuhi karena Allah SWT’ yang tidak ada ruang toleransi
bagi orang-orang yang menyimpang lagi sesat dalam perkara-perkara yang
menyelisihi Ahlus Sunnah Wal Jamaah.” (Zajrul
Mutahawin, hal. 8)
Pembaca,
demikianlah sajian kami sebagai bentuk tanggung jawab dan nasehat untuk kaum muslimin.
Semoga hidayah Allah SWT
selalu mengiringi kita semua.
Amin.
1
IM didirikan oleh Hasan Al-Banna di kota Ismailiyyah Mesir, pada bulan
Maret/April 1928 (Dzulqa’dah 1327 H). (Lihat Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal.
23)
KATA KUNCI =
Ikhwanul Muslimun/IM
Partai Keadilan Sejahtera/PKS