Pernikahan Dhea Annisa, Bacalah
dengan teliti. SEMOGA BERMANFAAT
Isi
= POSTER TABLIGH AKBAR ULAMA di INDONESIA, Proses Pernikahan Syar'i, Artikel islam yang terkait dengan PROFESI ARTIS/SELEBRITI
Catatan
= File ini untuk Nasehat dan Petunjuk, bukan dengan niat yang buruk
POSTER TABLIGH AKBAR ULAMA di INDONESIA
Facebook =
Youtube Ahlussunnah Wal Jama'ah Sunni Salafy =
TWITTER LIST AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH SUNNI SALAFY =
SILAHKAN MENANYAKAN INFO ISLAM KEPADA =
NOMOR TELEPON USTADZ AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
Ustadz Abdul Haq (YOGYAKARTA) 0274-7877151
Ustadz Fawzaan (CIAMIS) 0812-1920-9841
Ustadz Ibrohim 0813-9278-7776
Ustadz Syaiful Bahri (KROYA) 0852-9113-1002
Ustadz Khalid (KEBUMEN) 0821-3419-6758
Ustadz Ali
Nurdin (TIMIKA, PAPUA) 0821-3844-9562
(BELUM BANYAK NOMOR TELEPON USTADZ YANG BISA DITAMPILKAN)
(3912 Views) November 17, 2011 3:21
am | Published by Redaksi
SUMBER = http://asysyariah.com/proses-syar%E2%80%99i-sebuah-pernikahan/
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu
Ishaq Muslim Al-Atsari)
Proses mencari jodoh dalam Islam
bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun
justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli”
kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda
di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang
jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan
Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan
untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa
wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa
lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak
seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka
menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan
hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita
sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan
hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya,
keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini
bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si
lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si
wanita.
Yang perlu menjadi perhatian,
hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari
kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms,
surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon
suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus
menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon
antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau
menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan
wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan
pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan
yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara
wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun
pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi,
padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk
saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram,
bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah k
berfirman:
“Maka janganlah kalian tunduk
(lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang
di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya
berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan
perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan
(yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy
Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi
laki-laki untuk memerhatikannya:
q Wanita itu shalihah, karena Nabi n
bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ:
لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang
ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu
wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no.
5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah z)
q Wanita itu subur rahimnya.
Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah
menikah.
Rasulullah n pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ
الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang
penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain
pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud
no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
q Wanita tersebut masih gadis1, yang
dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah c ketika
memberitakan kepada Rasulullah n bahwa ia telah menikah dengan seorang janda,
beliau n bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا
وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan
gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan
alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia,
sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya
dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah n memujinya,
“Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no.
3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah n
bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ،
فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan
para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih
ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam
Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhor (melihat calon pasangan
hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada
Rasulullah n untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ
لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ n فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا
وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ n رًأْسَهُ
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk
menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah n pun melihat ke arah wanita
tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita.
Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no.
3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang
lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih
dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih
Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang
sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah n menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي
أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena
pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata
mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah z)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin
Syu’bah z meminang seorang wanita, Rasulullah n bertanya kepadanya, “Apakah
engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab
Al-Mughirah. Rasulullah n bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى
أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena
dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara
kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087.
Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi t berkata, “Dalam
sabda Rasulullah n kepada Al-Mughirah z: “Apakah engkau telah melihat wanita
yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita
sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata
ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhor ternyata ia tidak menyenangi si
wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhor dilakukan setelah
khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti
akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak
menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa
dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah z
berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya
hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya
kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah
sahabat Rasulullah n?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah n
bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ
امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“Apabila Allah melemparkan di hati
seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya
melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam
Al-Albani t dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani t berkata, “Boleh
melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya
ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah n:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً،
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ
إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
‘Apabila seorang dari kalian ingin
meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila
memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui
(bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan
Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat
Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang
hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan
pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik t dalam satu
riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam
keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada
aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh
melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita
masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372,
Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi
tanpa mahram ketika nazhar
Sebagai catatan yang harus menjadi
perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan
bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah n
bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ
إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang
laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama
mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani
oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun
Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan
baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita
yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian
disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul
Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214,
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari
seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si
wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa
tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua
telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya.
Karena adanya hadits Rasulullah n:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ،
فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا
فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang
seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya
untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082
dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adat
kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap
memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat.
Sahabat Jabir bin Abdillah c ketika melamar seorang perempuan, ia pun
bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya
untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga
Muhammad bin Maslamah z sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah
hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan
seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata,
“Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika
Nabi n mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa
sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat
bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang
dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian
tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang
biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan
melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap
syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan
kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil
Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang
boleh dilihat ketika nazhor ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di
kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah
berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita
tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui
wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain
dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena
Rasulullah n pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang
wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si
wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no.
5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449)
disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ
يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi
mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli
oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah
dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya
(membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang
pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya
disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi
permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama
ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar
si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi
peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya
ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak
berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan
dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga
janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil
Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan,
bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah.
Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dimintai fatwa tentang seorang
lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah
peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya
dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang
syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka
tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban
Syaikh t? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya
dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah
dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya
syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram.
Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh
lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di
bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
q Memilihkan suami yang shalih dan
bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di
bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena
Rasulullah n pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ
تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ
فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para
wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita
kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila
kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan
yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam
Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
q Meminta pendapat putrinya/wanita
yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah
dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah z berkata menyampaikan
hadits Rasulullah n:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى
تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda
dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh
seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab
beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang
berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab
dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak
pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak
wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang
bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak
suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama
si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah,
disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau
khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ
مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ
إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ.
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya
sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka
yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah n kepada Abdurrahman
bin Auf z ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun
dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim
no. 3475)
Rasulullah n sendiri
menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits
Anas z disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ n عَلىَ
شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi n menyelenggarakan
walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau
lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara
walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja.
Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu
sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah
dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi n. Anas bin Malik z berkata,
“Nabi n menikah dengan Shafiyyah x dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah
sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam
Al-Albani t berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan
sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih
Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara
walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau
orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang
miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek
makanan. Rasulullah n bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ
الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah
makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang
kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan
Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan
menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya
-yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada
khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah n bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ
وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan
yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no.
3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no.
1994)
Adapun makna shaut di sini adalah
pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang
pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari t menyebutkan
satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah”
dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x yang mengisahkan kehadiran
Rasulullah n dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff
sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka
yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah n mendengarkannya. (HR.
Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak
boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua
itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri
sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu
Hurairah z, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ n كاَنَ إِذَا
رَفَّأَ الْإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ
عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah Nabi n bila mendoakan
seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan
memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR.
At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi
menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka
disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu
untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap
dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini
lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.
Didapatkan dari perbuatan Rasulullah n, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah
menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah x (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk
menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar
dari hadits Ibnu ‘Abbas c.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada
istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya
berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan x, ia berkata, “Aku
mendandani Aisyah x untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah n. Setelah
selesai aku memanggil Rasulullah n untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan
duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau
minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma`
pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah n. Aisyah pun
mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut….”seorang budak maka
hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah k, mendoakan keberkahan
dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan
apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu
dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di
atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih
Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang
memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk
shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu
Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku
berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi n, di antara mereka ada
Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah g. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu
Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika
aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian.
Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka
mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua
rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah l dari kebaikannya dan berlindunglah
dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu….” (Diriwayatkan Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani t
berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun bukan berarti janda
terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah n memperkenankan
Jabir z memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah n dinikahi
dalam keadaan janda, kecuali Aisyah.
2 Faedah: Kisah Amirul Mukminin Umar
ibnul Khaththab z yang menyingkap dua betis Ummu Kultsum bintu Ali bin Abi
Thalib z yang hendak dinikahinya, adalah kisah yang dhaif (lemah), pada
sanadnya ada irsal dan inqitha’. (Adh-Dha’ifah, ketika membahas hadits no.
1273)
3 Bahkan Al-Imam Ahmad t sampai
memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya
wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan.
Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian
tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari
si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak
tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh
dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung,
dan semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh
dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud
Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh
tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan
dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud
Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah
suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan
menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi
bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan
melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung
dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid
Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat
aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila
engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan
terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari
ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku
tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi
wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat
berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua
telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah
dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si
wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i.
(An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam Al-Albani t menyatakan bahwa
riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan
oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan
tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing.
Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi n walimah atas
pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat
dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh
walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
ARTIKEL ISLAM YANG TERKAIT DENGAN PROFESI ARTIS/SELEBRITI
Artikel tentang hukum video yang dilakukan oleh artis/selebriti
Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan hafidzohulloh (ULAMA SAUDI ARABIA) termasuk ulama yang
berpendapat haromnya gambar video (rekaman). Namun di internet banyak
sekali beredar rekaman ceramah beliau di berbagai situs. Keadaan ini
bisa jadi akan memunculkan kebingungan bagi sebagian orang, mengapa hal
ini bisa terjadi?
Penyebabnya menurut kami –wallohu
a’lam- adalah karena beliau berpendapat haromnya video yang berbentuk
rekaman, namun di sisi lain beliau membolehkan video (tv) yang berbentuk
siaran langsung. Dan rekaman-rekaman ceramah beliau yang banyak beredar
di internet mungkin diambil dari siaran-siaran langsung ceramah beliau,
kemudian diunggah ke internet tanpa seijin beliau. Wallohu a’lam.
Pada
edisi pertama kami telah menampilkan sebagian fatwa beliau tentang
video, berikut kami tampilkan kembali fatwa asy-Syaikh Sholih Fauzan
secara lebih lengkap agar pembaca dapat memperoleh pemahaman yang
lengkap.
Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan ditanya :
Apa
hukum video? Bagaimana kami harus menjawab bila ada orang yang
menyatakan bahwa Anda membolehkan video, karena anda muncul disiaran
dakwah di TV Majd Channel ?
Jawab :
Subhaanallah, saya membolehkannya ??!
Terkait
kemunculan saya di TV, maka saya dalam keadaan tidak menginginkannya.
Mereka datang ke masjid kemudian merekam ta’lim dan juga para hadirin.
Mereka tidak ijin terlebih dahulu atau berkonsultasi.
Saya bener-benar tidak mengijinkannya, begitupun saya sama sekali tidak suka dengan hal ini, siapa saja pelakunya.
Mereka
juga telah merekam ta’lim asy-Syaikh bin Baz Rohimahullah dalam keadaan
beliau tidak suka dengan hal tersebut. Bahkan beliau memperingatkan
umat darinya. Mereka datang pada suatu acara, bergabung bersama-sama,
merekam, lalu muncullah siarannya di TV. Apakah ini berarti asy-Syaikh
bin Baz membolehkan gambar (tashwir) ? Sama sekali tidak. Beliau berdiri
pada posisi bahwa semua gambar, dalam berbagai jenisnya, adalah harom.
***
Pada kesempatan lain beliau Hafidzohulloh ditanya:
Apakah
benar berita yang menyatakan bahwa Anda telah merubah pendapat Anda
tentang larangan membuat gambar, terkait dengan persetujuan Anda untuk
menampilkan rekaman ta’lim Anda di Majd Tv dan lainnya?
Jawab:
Ini
adalah penukilan yang tidak benar. Hukum gambar adalah harom. Tidak
boleh bagi saya atau selain saya berkata kepada anda bahwa gambar itu
boleh dikarenakan dalil tentang pelarangan gambar sangat jelas, begitu
pula hukuman bagi pelakunya. Dan perbuatan ini termasuk dari dosa besar.
Saya termasuk yang berpendapat haromnya gambar kecuali dalam keadaan
kita sangat butuh (darurat). Saya ulangi lagi, gambar adalah sesuatu
yang dilarang kecuali dalam keadaan kita sangat butuh, seperti dalam
pembuatan kartu identitas, SIM, atau paspor. Dalam situasi demikian maka
gambar dibolehkan.
Dalam keadaan lain, seperti untuk
kenang-kenangan, sebagai hiasan atau dekorasi, maka yang ini tidak
boleh. Ini adalah perbuatan yang lebih jelek, yaitu ketika seseorang
menggantung gambar. Perbuatan ini larangannya lebih keras lagi.
Ini
adalah kalimat (pendapat) yang telah saya nyatakan dan yang terus saya
pegangi. Bila ada yang menyandarkan kepada saya selain ini, maka itu
adalah tidak benar.
Adapun terkait Majd TV, maka saya
tidak pernah datang kepada mereka atau ke studio mereka. Merekalah yang
datang ke masjid dan kemudian merekam.
Seperti halnya
mereka juga melakukan pengambilan gambar saat pelaksanaan sholat di
Masjidil Harom (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah). Mereka datang ke
masjid, kemudian melakukan pengambilan gambar di Masjidil Harom dan
Masjid Nabawi.
***
Tanya :
Apakah
orang yang merekam ta’lim atau pelajaran teranggap sebagai orang yang
disebut dalam hadits tentang larangan membuat gambar ?
Jawab :
Ya
termasuk. Dia termasuk di dalamnya. Tidak ada kebutuhan kita pada
gambar. Pelajaran (ilmu) itu cukup direkam, didengarkan, dan ditulis.
Tujuan telah tercapai tanpa perlu ada gambar (video).
***
Tanya:
Apakah boleh seorang ulama atau penuntut ilmu tampil di TV jika keadaan membutuhkannya?
Jawab:
(Siaran)
televisi yang live/langsung adalah memindahkan (menyalurkan) gambar,
dan ini berbeda dengan merekam yang merupakan bentuk menyimpan gambar
(seperti kamera foto). Siaran live hanya sekedar menyalurkan, misalnya
adalah siaran langsung sholat di Masjidil Harom, di Masjid Nabawi,
siaran langsung pelaksanaan ibadah haji saat wuquf di Arofah atau
tempat ibadah haji lainnya. Ini adalah siaran langsung (live). Mereka
menyebutnya siaran langsung.
***
Tanya:
Ada orang yang menjadikan kemunculan Anda di TV sebagai dalil bahwa Anda membolehkan gambar?
Jawab:
Saya telah menulis tentang masalah ini. Saya nyatakan bahwa itu (siaran langsung) bukan gambar, tapi sekedar menyebarkan saja.
Asy-Syaikh
Fauzan juga ditanya tentang bagaimana bila ada orang yang menjadikan
siaran langsung tersebut sebagai rekaman, maka beliau menjawab bahwa
itu menjadi tanggung jawab si pelaku
(http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=125720)
Diketik ulang untuk Darussalaf.or.id dari Majalah Fiqih Islami FAWAID No. 04/I/1435/2014 Hal. 52-54
SILAHKAN LIHAT ARTIKEL INI DI http://www.darussalaf.or.id/fiqih/asy-syaikh-sholih-al-fauzan-membolehkan-video/
SILAHKAN KLIK FOTO INI UNTUK MEMBACA DENGAN JELAS TENTANG HUKUM GAMBAR DAN HUKUM FOTO
SILAHKAN DI KLIK FOTO INI UNTUK MEMBACA DENGAN JELAS
ARTIKEL ISLAM TERKAIT PROFESI ARTIS/SELEBRITI
Hadits-Hadits Tentang Larangan Menggambar
May 5th 2010 by Abu Muawiah
Hadits-Hadits Tentang Larangan Menggambar
Hadits-hadits
yang melarang menggambar makhluk bernyawa sangat banyak, ada beberapa
lafazh yang diriwayatkan oleh sahabat berbeda sehingga dianggap sebagai
beberapa hadits. Berikut ini hanya sebagian di antaranya:
1. Hadits Jabir radhiallahu anhu dia berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنِ الصُّوَرِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ
“Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan
beliau melarang untuk membuat gambar.” (HR. At-Tirmizi no. 1671 dan dia
berkata, “Hadits hasan shahih.”)
2. Hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya:
أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرَفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Jangan
kamu membiarkan ada gambar kecuali kamu hapus dan tidak pulan kubur
yang ditinggikan kecuali engkau meratakannya.” (HR. Muslim no. 969)
Dalam riwayat An-Nasai, “Dan tidak pula gambar di dalam rumah kecuali kamu hapus.”
3. Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي
الْبَيْتِ يَعْنِي الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ
وَرَأَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ عَلَيْهِمَا السَّلَام بِأَيْدِيهِمَا
الْأَزْلَامُ فَقَالَ قَاتَلَهُمْ اللَّهُ وَاللَّهِ مَا اسْتَقْسَمَا
بِالْأَزْلَامِ قَطُّ
“Bahwa tatkala Nabi melihat gambar di
(dinding) Ka’bah, beliau tidak masuk ke dalamnya dan beliau
memerintahkan agar semua gambar itu dihapus. Beliau melihat gambar Nabi
Ibrahim dan Ismail alaihimasssalam tengah memegang anak panah (untuk
mengundi nasib), maka beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan
mereka, demi Allah keduanya tidak pernah mengundi nasib dengan anak
panah sekalipun. “ (HR. Ahmad no. 3276)
4. Aisyah radhiallahu
anha berkata: Rasulullah masuk ke rumahku sementara saya baru saja
menutup rumahku dengan tirai yang padanya terdapat gambar-gambar.
Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu
menarik menarik tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Sesungguhnya
manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka
yang menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim
no. 5525 dan ini adalah lafazhnya)
Dalam riwayat Muslim:
أَنَّهَا
نَصَبَتْ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم فَنَزَعَهُ ، قَالَتْ : فَقَطَعْتُهُ وِسَادَتَيْنِ
“Dia
(Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar, maka
Rasulullah masuk lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya memotong
tirai tersebut lalu saya membuat dua bantal darinya.”
5. Dari Ali radhiallahu anhu dia berkata:
صَنَعْتُ
طَعَامًا فَدَعَوْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ فَدَخَلَ
فَرَأَى سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَخَرَجَ . وَقَالَ : إِنَّ
الْمَلائِكَةَ لا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
“Saya
membuat makanan lalu mengundang Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk
datang. Ketika beliau datang dan masuk ke dalam rumah, beliau melihat
ada tirai yang bergambar, maka beliau segera keluar seraya bersabda,
“Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di
dalamnya ada gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5256)
6. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
اسْتَأْذَنَ
جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ
: « ادْخُلْ » . فَقَالَ : « كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ
تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا
يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ
تَصَاوِيرُ
“Jibril alaihissalam meminta izin kepada Nabi maka
Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril menjawab, “Bagaimana saya mau
masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sebaiknya
kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya atau kamu menjadikannya
sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami para malaikat tidak
masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no.
5270)
Mirip dengan hadit ini dari hadits Aisyah riwayat Muslim, hadits Ibnu Umar riwayat Al-Bukhari, dan hadits-hadits lainnya.
7. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لا تَدْخُلُ الْمَلائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ تَصَاوِيرُ
“Para
malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat
patung-patung atau gambar-gambar.” (HR. Muslim no. 5545)
8.
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda tentang gambar-gambar yang ada di gereja Habasyah:
إِنَّ
أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا
عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ
شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Mereka
(ahli kitab), jika ada seorang yang saleh di antara mereka meninggal,
mereka membangun masjid di atas kuburnya dan mereka menggambar
gambar-gambar itu padanya. Merekalah makhluk yang paling jelek di sisi
Allah pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 427 dan Muslim no. 528)
9. Dari Abu Juhaifah radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم لَعَنَ الْمُصَوِّرَ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melaknat penggambar.” (HR. Al-Bukhari no. 5962)
10. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنْ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ تبْصِرُان وَأُذُنَانِ تسْمَعُان ، وَلِسَانٌ يَنْطِقُ يَقُولُ
: إِنِّي وُكِّلْتُ بِثَلاثَةٍ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ وَبِكُلِّ مَنْ
ادَّعَى مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَالْمُصَوِّرِينَ
“Akan
keluar sebuah leher dari neraka pada hari kiamat, dia mempunyai 2 mata
yang melihat, 2 telinga yang mendengar, dan lisan yang berbicara. Dia
berkata, “Saya diberikan perwakilan (untuk menyiksa) tiga (kelompok):
Semua yang keras kepala lagi penentang, semua yang beribadah bersama
Allah sembahan yang lain dan para penggambar”. (HR. At-Tirmizi no. 2574
dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani)
11. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً
“Allah
Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang
yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Kenapa mereka tidak
menciptakan lalat atau kenapa mereka tidak menciptakan semut kecil (jika
mereka memang mampu)?!” (HR. Al-Bukhari no. 5953, Muslim no. 2111,
Ahmad, dan ini adalah lafazhnya)
12. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya
manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat
adalah para penggambar.” (HR. Al-Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109)
13. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
“Sesungguhnya
mereka yang membuat gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Akan
dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.” (HR.
Al-Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 5535)
14. Dari An-Nadhr bin Anas radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
“Siapa
saja yang menggambar suatu gambar di dunia maka pada hari kiamat dia
akan dibebankan untuk meniupkan roh ke dalamnya padahal dia tidak akan
sanggup meniupkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5963 dan Muslim no. 5541)
Yang Terlarang Hanyalah Gambar Makhluk Bernyawa
Sebagian
besar hadits-hadits di atas larangannya bersifat umum mencakup semua
jenis gambar. Hanya saja sebagian hadits lainnya memberikan pembatasan
bahwa yang terlarang di sini hanyalah menggambar gambar makhluk yang
bernyawa.
Di antara hadits-hadits yang memberikan pembatasan ini adalah:
a.
Hadits no. 6 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Sisi pendalilannya
bahwa Jibril menganjurkan agar bagian kepala dari gambar tersebut
dihilangkan, barulah beliau akan masuk ke dalam rumah. Ini menunjukkan
larangan hanya berlaku pada gambar yang bernyawa karena gambar orang
tanpa kepala tidaklah bisa dikatakan bernyawa lagi.
b. Hadits no.
13 dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma. Sisi pendalilannya bahwa Allah
menyuruh untuk menghidupkan gambar yang dia gambar. Ini menunjukkan
bahwa yang terlarang hanyalah gambar makhluk yang bisa hidup (bernyawa).
c.
Hadits setelahnya pada no. 14 dari An-Nadhr bin Anas radhiallahu anhu.
Sisi pendalilannya bahwa para penggambar diperintahkan untuk meniupkan
roh pada gambarnya, maka ini menunjukkan tidak mengapa menggambar gambar
makhluk yang tidak memiliki roh/nyawa.
d. Menguatkan hadits no. 6 di atas, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ
“Gambar
itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak ada lagi
gambar.” (HR. Al-Baihaqi: 7/270 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani)
e.
Sebagai tambahan juga ada dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
dia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ, يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسٌ يُعَذَّبُ بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Setiap
penggambar berada dalam neraka, setiap gambar yang dia telah gambar
akan diberikan jiwa (dihidupkan oleh Allah) yang dengan gambar itu dia
akan disiksa di dalam Jahannam.”
Lalu Ibnu Abbas berkata, “Jika
kamu
harus untuk menggambar maka gambarlah pohon dan apa saja yang tidak
mempunyai nyawa.” (HR. Al-Bukhari no. 2225 dan Muslim no.
5540)
KATA KUNCI = Pernikahan Dhea Annisa, Dhea Annisa